Alienasi Mahasiswa terhadap Tradisi Literasi

Beberapa waktu yang lalu tersiar  sebuah informasi bahwa Indonesia berada pada urutan ke-63 dari 65 negara dalam hal literasi. Tentu saja, hal ini sebuah kabar yang memiriskan di tengah era yang memerlukan tradisi baca-tulis dewasa ini.  

Menurut Jose Luis Borges, membaca dan menulis adalah tindakan paling beradab yang mampu dilakukan umat manusia. Sastrawan besar Argentina itu mungkin risih dan sekaligus bangga akan dua hal yang digelutinya ini ketika mengatakannya. Bagi sebagian orang, ungkapan Borges itu boleh jadi sarkastis, selain terasa begitu hiperbolis. Akan tetapi,  pada saat itu dia menghadapi kondisi dunia yang seakan tidak lagi menyediakan tempat bagi sesuatu yang “beradab” dan “berperadaban.”

Borges tentu tidak sendiri. Ada banyak orang, terutama sesama penulis, yang mengamini ucapannya di masa silam itu. Bahkan, hingga sekarang, banyak orang yang  turut memegang kata-katanya tersebut. Dunia terlalu disibukkan dengan percepatan teknologi; konflik dan perang berlangsung di mana-mana; dan gerak-laju kapitalisme tidak terbendung dan seolah belum menemukan lawan sepadan sehingga membaca dan menulis, dalam perspektif Borges, barangkali mampu menjadi solusi dalam menghadapi kesemrawutan dunia yang kita tinggali ini.

Jika ditilik ucapan Borges tersebut, proses menulis boleh jadi terasa sulit. Menulis sebagai fase lanjutan dari tradisi membaca dan berpikir itu terkesan eksklusif sehingga tidak semua orang mampu melakukannya.

Sayangnya, hal itu tidak hanya terjadi pada mereka yang  jauh atau terjauhkan dari tradisi berpikir. Dalam ruang-ruang pemikiran milik sejumlah kalangan “pengampu” tradisi adiluhung ini, kita juga disuguhkan sebuah kenyataan bahwa tradisi ini juga terancam eksistensinya, termasuk dalam kalangan mahasiswa. Di dalam rubrik ini, 6 September 2015 lalu, Alvi Puspita sempat mengungkapkan keresahannya mengenai tradisi tulis dalam kalangan mahasiswa.

Lantas, ada apa dengan mahasiswa sehingga tradisi menulis (dan membaca) semakin asing bagi para “intelektual muda” tersebut? Secara sederhana (meski hal ini sebetulnya sangat kompleks), salah satu kondisi yang teridentifikasi sebagai penyebabnya adalah mahasiswa  telah lebih dahulu kehilangan tradisi berpikir serta sepinya minat pada tradisi membaca. Disadari atau tidak, hal ini bermula dari miskinnya diskursus di antara mahasiswa itu sendiri; mahasiswa yang dalam pergulatan pemikirannya itu kemudian seolah-seolah dipaksa —bukan terpaksa— untuk meninggalkan (atau meniadakan?) entitas penting dalam dunia kemahasiswaannya.

Dalam konstelasi pemikiran dan tradisi intelektual, menulis sebagai suatu upaya untuk meletakkan gagasan itu, memang semakin kehilangan tempat. Proses menulis yang kemudian juga dapat diartikan sebagai semacam ikhtiar untuk menyalurkan berbagai pendapat mengenai suatu keadaan, teralienasi dalam berbagai paradigma dan problematika yang dianggap lebih bergengsi dan menjanjikan, seperti terjun dalam dunia pergerakan.

Mencermati dunia pergerakan ini, ada hal yang selalu luput dalam pengamatan mahasiswa hari ini: seorang aktivis seharusnya tak akan bisa lepas dari tradisi membaca dan menulis. Sebut saja nama-nama semisal Achmad Wahib, Kuntowijoyo, atau Nurcholis Madjid. Para pesohor dalam dunia intelektual dan kepengarangan kita itu —yang dahulunya menceburkan diri ke dalam organisasi  HMI —adalah sedikit nama yang bisa dimunculkan di sini. 

Oleh Boy Riza Utama

*Tulisan diambil disini