(JUFRA UDO) Kekuatan Petahana

Sebenarnya, sejauh ini belum ada konsep yang pasti soal petahana. DPR pun masih sibuk untuk merevisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, konsep petahana masuk dalam poin penting agenda revisi. Kendati demikian, perlu diingat juga, terma-terma politik telah membiasa di bawah sadar, dan itu sulit dilepaskan.

Seperti itu pula pemaknaan petahana, yakni seorang kepala daerah yang maju ke kontestasi untuk kedua kalinya. Lepas dari UU, apakah makna itu masih berlaku atau tidak? Kita tunggu saja pihak DPR yang dikabarkan siap kebut soal rencana revisi tersebut (Suara.com, 5/04/2016).

Lepas dari revisi, pilkada serentak jilid dua akan kembali digelar pada 2017 mendatang. Dan tentu, petahana akan jadi momok yang paling menantang bagi figur pendatang dalam kontestasi pilkada.

Momok itu tersebut tentu memiliki alasan-alasan. Meski terbilang klasik, alasan-alasan berikut masih saja mengena. Seperti;

Pertama, struktur birokrasi yang rapi, dan telah didisiplinkan untuk taat dan patuh pada kebijakan kepala daerah. Birokrasi yang kuat sangat dipastikan mampu memberi sumbangsih dukungan yang sistemik bagi figur incumbent.

Kedua, struktur budaya. Jika selama menjabat sebagai kepala daerah, petahana selalu menjalankan program-program yang berkaitan dengan budaya, maka akan sulit ditebas kekuatannya bagi figur pendatang. Ini dikarenakan efek sosiologisnya yang langsung menyasar paradigma akar rumput (grass root). Budaya, seperti demikian, sulit dilawan dengan mengedepankan isu 'kejenuhan' maupun kampanye hitam atas keburukan petahana.

Ketiga, kekuatan modal. Tak ada kekuasaan yang kokoh tanpa sokongan modal yang kuat. Ini framing kuasa politik yang tidak bisa diingkari. Tetap berlaku. Dikarenakan, dunia birokrasi yang mengepankan pembangunan infrastruktur, seperti kultur pembangunan saat ini, menyisakan pundi-pundi yang gemuk yang acap dipersiapkan sebagai basis finansial dalam kontestasi politik. Apalagi ditunjang dengan sikap koruptif bagi petahana yang cenderung memperkaya diri sendiri, lewat penggemukan aset pribadi, dan modus sabotase izin usaha lawan-lawan politiknya.

Kendati demikian, faktor ketiga tak cukup dominan untuk mempengaruhi sokongan dukungan politik bagi incumbent. Terlebih bila berhadapan dengan kandidat pendatang yang disokong juga dukungan finansial yang kuat.

Dari ketiga alasan tersebut, dukungan basis finansial yang kuat bagi kandidat pendatang, tidak semestinya membuat tampil percaya diri apalagi over di gelanggang politik. Tak selamanya, kalkulasi ekonomi bisa mengimbangi perubahan politik. Sekejap saja, politik bisa berubah.

Politik menyentuh semua sisi naluriah manusia. Kekuatan jual-beli dan penawaran, jangan dipastikan bisa membaca gerak politik sebagaimana grafik saham, dan kenaikan harga sembako. Perubahan politik selalu dinamis. Kapan pun manusia berpikir untuk merubah sikap, ketika itu jua tindakan politik berubah.

Disamping, isu etnis adalah hal yang sangat konyol untuk dimainkan di medan yang sempit. Etnis bila dijadikan sebagai opini dalam medan seperti itu, sama halnya mematikan ruang opini publik. Juga dapat memantik meledaknya konflik, karena etnis menyentuh ruang privat yang amat sensitif.

Karenanya, politik mesti tampil elegan bila hendak meruntuhkan kemapanan struktur yang telah dibangun petahana. Yakni mengusung nafas perubahan dan dapat memastikan soliditas masyarakat.

Cara yang paling elegan, bisa ditempuh, dengan membentuk pos-pos dukungan sebagai bentuk legitimasi kepemilikan teritorial. Ruang gerak petahana bisa dibatasi dari sini.

Dan, hindari konflik yang melibatkan kelompok masyarakat kelas bawah. Karena bisa menjadi bumerang, dan membuat leluasa gerak politik petahana. Bermainlah dengan cara-cara yang elegan dan santun, yang penting progresnya terukur.(*)

Oleh: Jufra Udo
(Kader HMI MPO Kendari, jufraudo10@gmail.com)

Tulisan sudah dipublikasikasi zonasultra.com