JUFRA UDO: Burung Pagi


Kala malam berusia senja, pelan-pelan usianya menyulam purna. Selesai dan berganti bentuk. Kudapati pagi. Sinarnya menyembul di balik tiraiku.

Di luar berderet siul burung yang mulai lemah. Tak ada induk yang temani ia bertengger. Tampaknya, ia begitu mandiri.

Sosoknya kecil. Berbadan tak lebih dari seukuran bola pingpong.

Ia begitu tegar. Melambangkan jikalau banyak harapan besar. Meski di dataran kota yang gersang olehnya, ia begitu gagah. Tak gagap melakoni hidupnya. Yang sewaktu-waktu manusia bisa membinasakannya.

Kota ini hanya milik para pengumpat. Yang rajin menghujat alam dengan knalpot nakal. Yang mengatai dunia dengan lemparan ludah dan ingus.

Dan, hanya pagi yang layak dimiliki burung. Begitu hormat ia pada alam. Dan tak secarik daun jua dicabiknya.

Akh, pagi memang menyisahkan banyak cerita. Ketika burung itu bersiul, ada cerita lebih dari kita. Sebagai manusia, mestinya harus rajin bersiul. Bukan dikalahkan burung itu. Juga harus menaruh hormat lebih pada kemurahan alam.(*)

Kendari, 9/4/2016